Senin, 27 Agustus 2012

Konsultasi Demurrage Kapal Tongkang

Hallo pencinta kemaritiman, mohon maaf absen beberapa saat karena ada masalah kesehatan fisik yang cukup. Saat inipun belum pulih namun kesehatan mental baik-baik saja (memori tetap OK) walaupun belum kembali msuk ke dalam kelas untu bertatap muka dengan anak didik.
Berikut ini blogger sampaikan kutipan berita yang kuanggap sangat penting dan berkaitan dengan masalah perbukuan, tidak terkecuali buku maritim yang menjadi spesialiasi blogger, sebagai beikut:


DEWAN BUKU NASIONAL

Berikut ini blogger kutipkan tulisan Alfons Taryadi bertajuk “Mendialogkan Gawatnya Perbukuna Nasional” yang dimuat dalam Kompas, 23 Juli 2012.
Perbukuan nasional kita banyak dikeluhkan karena tidak ada kebijakan yang tunggal dan terpadu. Ayip Rosidi, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) tahun 1978 sudah mengeluhkan ini. Kritik serupa disampaikan Ketua Umum Ikapi berikutnya, Ismid Hadad, 1980.
Suatu hari tahun 1998 sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi saya mendampingi Arselan Harahap (Ketu Umum Ikapi 1998 – 2002) menghadap pejabat tinggi pemerintah untuk membicarakan pengembangan perbukuan nasional.
Ketika kami baru menceritakan kondisi perbukuan Negara tetangga, sang pejabat langsung memotong: Saya tidak suka membandingkan Indonesia dengan Negara lain. Ujung-ujungnya kalian hanya akan menuduh pemerintah kurang ini kurang itu”. Saya jadi ingat kata-kata (mantan) Mendikbud Prof. Dr. Wardiman Joyonegoro dalam sambutannya pada HUT Ikapi tahun 1996. Ia justru menyarankan Ikapi membuat studi banding ke Negara tetangga,
Maka, 16-21 Agustus 1996, saya memimpin Tim Ikapi untuk meninjau perbukuan di Malaysia. Tim kami melaporkan hasil kunjungan ini dalam mimeograf 77 halaman berjudul Melongok Penerbitan Buku di Malaysia”. Sikap Prof. Wardiman membuat saya yakin bahwa perbukuan kita, bagaimanapun kondisinya, tetap bisa dan perlu di dialogkan. Syaratnya, semua peserta mengakui bahwa perbukuan adalah milik kita bersama.
Seturut Augusto Curi (Brilliant Parents Fascinating Teachers,2003), bicara adalah mengekspresikan dunia di sekitar kita,sedangkan berdialog mengekspresikan dunia kita. Maka kita tak hanya bicara, tetapi berdialog tentang perbukuan kita.
Tanpa saling tuding
Dialog bias dimulai dari sorotan Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi Pusat Setia Dharma Madjid atas pembbubaran Dewan Buku nasional (DBN) oleh Kementrian Pendayagunaan Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan alasan  lembaga nonstructural tersebut belum berkinerja baik (Kompas, 29/6/2012).
Memang, Keppres Nomor 110 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan DBN. Namun, saat say menulis “Menggulirkan Dewan Perbukuan Nasional” (Kompas,18 September 2002), keppres tersebut belum terwujud. Baru 18 September 2002 dideklarasikan berdirinya DBN oleh para pemimpin perbukuan seperti Ikapi, Himpunan Penerjemah Indonesia, Ikatan Pengarang Aksara, dan Wanita Penulis Indonesia.
Pendirian DBN sepengetahuan Dr Malik Fadjar sebagai Mendikbud kala itu. Bahkan,staf ahlinya, Endro Sumardjo, ia izinkan mengetuai DBN. Ia juga membolehkan sebagian dari anggaran Badan Pertimbangan dan Pengembangan Perbukuan nasional untuk membeayai kegiatan DBN, sambil menunggu peresmian DBN sebagai lembaga nonstructural atas dasar putusan Keppres 13 September 1999.
Di situlah kami berusaha menyusun kebijakan dan strategi pengembangan perbukuan nasional dan menanggapi usulan dewan Buku Kebangsaan Malaysia tentang Pembentukan Dewan Buku ASEAN.
Saran UNESCO
Konsep DBN diperkenalkan oleh Organisasi PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai salah satu mekanisme pengembangan perbukuan nasional serta promosi minat baca. Dan data 1987 menunjukkan bahwa DBN telah dibentuk di 13 negara kawasan asia, afrika dan Karibia . Di Asia Tenggara, DBN juga didirikan di Malaysia, Filipina,Singapura, Thailand, dan Indonesia untuk menjawab kebutuhan bangsa akan buku. Di Indonesia, DBN bentukan 1978 itu disebut Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN).
DBN Filipina berada di bawah kantor kepresidenan untuk menjamin pengembangan industry buku lewat rumusan serta perwujudan suatu kebijakan perbukuan nasional. Rancangan pengembangan buku nasional DBN Filipina itu bisa menjadi model bagi DBN di Indonesia. Artinya, perbukuan nasional sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa langsung di bawah kendali Presiden RI.

 Di sini bloggwe ingin mengutarakan hal-hal crucial dan sekaligus memprihatinkan terkait penerbitan dan peredaran buku-buku, sebagai berikut: Pertama, skala penerbitan: diketahui bahwa penerbitan buku, oleh penerbit/pencetak buku berkala besar berjalan melalui jalur "offset printing". Pada system pencetakan "offset plano" ini (mencetak pada kertas beukuran besar 120 x 120 cM) ini terdapat dua metode cetak offset yaitu 1): offset plano penuh, yaitu "sekali tembak" mencetak sebanyak 5.000 (lima ribu copy) dan master cetaknya dibuang, 2). offset plano terbatas "hanya" mencetak sebanyak 3.000 copy. 
Mesin cetaknya juga ada dua macam yaitu yang hanya bisa mencetak satu lembar sehingga untuk mencetak lembar lawannya kertas yang akan dicetak harus diumpankan lagi dengan dibalik. 
Penerbit/pencetak berskala sangat besar umumnya menggunakan mesin yang dapat mencetak "duplex" yaitu mencetak dua halaman secara sekaligus. 
Bahan yang dicetak duplex, selesai proses pencetakan langsung masuk ke dalam "mesin pelipat" dimana kertas berukuran plano tersebut langsung dilipat-lipat menjadi sekian halaman buku seseuai dengan program perencanaan format buku (P.sekian cM, L.sekian cM) lalu dipress. 
Katakanlah buku dirancang setebal 1,5cM (entah berapa ratus halaman itu) maka satu lembar kertas plano itu akan menjadi lipatan-lipatan sebanyak sekian gebung dan setelah sekian lembar kertas berukuran plano selesai dicetak semuanya, akan diperoleh katakanlah duabelas gebung halaman-halaman buku yang siap dipres menjadi satu buku seutuhnya untk pada akhirnya dijilid menjadi satu buku seutuhnya baik engan metode jilid lem atau jilid jahit. Langkah terakhir adalah buku "disisir" yaitu ujung lebar, dan kedua ujung atas dan bawahnya dipotong kurang dari 0.5mM sehingga buku mnjadi rapi. 
Mungkin anda pernah membeli buku yang ujung lebar dan tingginya lengket sehingga anda harus memotongnya supaya buku enak dibaca. Hal itu terjadi karena proses penyisiran ujung buku tidak berjalan dangan sempurna.
Sekarang cerita tentang biku karangan orang Amerika dan diterbitkan oleh penerbit USA (tetapi mungkin juga penerbit lain. Pada buku terbitan USA itu pasti ada "halaman ackonwlegment" yaitu ucapan terima kasih kepada pakar yang telah membaca buku itu sebelum diterbitkan. Sudah barang tentu para pembaca itu mendapat honor secukupnya dari penerbit. Anda seorang pengusaha penerbitan buku? Apakah anda mempraktekkan mekanisme itu? Tentu anda tidak berani menjawab pertanyaan ini bukan? Kecuali satu dua gelintir pengusaha penerbitan yang memang mempraktekkan sistem Amerika itu (juga British dan India juga sudah memulai langkah mulia itu).
 Blogger kadang-kadang merasa iri dengan rekan-rekan dari Etnis Nias yang mempunyai petrampilan menciptakan buku yang oplaagnya mencapai 5.000 bahkan 10.000 eksemplar buku sekali temak. Terhadap penulis sekaliber ini, penerbita biasanya tidak"berani main-main" (baca: kontraknya untuk 1.000 eksemplar tetapi dia mencetak offset olano). Kabarnya ilmuwan Rhenald Kasali juga (lebih atau kurangnya) tergolong  ke dalam penulis kaliber ini.
Para penulis buku yang rata-rata masih dikibuli penerbit, mohon maaf, tulisan ini dimaksudkan untuk menarik minat dan juga menggugah kemauan rekan-rekan untuk menyampaikan masukan guna disampaikan kepada Dewan Buku Nasional yang saya yakin saat ini sedang menyusun rancangan untuk menciptakan sistem perbukuan nasional untuk menciptakan sistem yang melindungi semua stake holder perbukuan nasional. Begitu banyak pengarang, pencipat, pencinta buku, mosok harus dikalahkan oleh mafia perbukuan.
Blogger sendiri adalah juga pengarang buku, ada sembilan judul sudah kuselesaikan (semua menyangkut substansi kemaritiman/transportasi laut. Awal Mei 2012 blogger mengikuti Seminar Bisnis Online di JDC, yang dilanjutkan dengan workshop dua hari. Dua kali saya mengikuti worshop dan pada akhir woekshop angkatan IV pada 8 Juli 2012 kesehatanku ambruk dan masuk rumah saki. Saat ini, pasca Lebaran 1433 Hijriah, blogger seminar dan workshop yang diprakrsai oleh SPO Surabaya itu pasti akan dibuka lagi dan aku sudah minta agar anakku ikut sebagai penggantiku. Pengamat blog ini jika berminat disarankan mencari iklan kecil pada Kompas. kalau ada lekas daftar, gratis kok kecuali workshopnya.
Blogger sendiri memang berencana membuka toko buku online untuk memamarkan buku-buku karanganku. Mudah-mudahan Tuhan YME mengabulkan permohoankau yang akan akan kulanjutkan kepada anakkua. Mohon doa restu pengambat blog ini. Amin.