Beberapa waktu yang lalu penulis mengungkapkan awal keterpurukan PN. (sekarang PT) Djakarta Lloyd (DL); mohon maaf ceritanya terputus dan inilah kelanjutannya: pada tahun 1963 kapal yang dioperasikan oleh DL dan dicharter oleh eksportir untuk mengangkut kopra ekspor dari Indonesia ke Jepang. Dalam perjalanan balik ke Tanjung Priok kapal mendapat muatan tepung terigu dalam kantong; dalam pengangkutan itu kapal dioperasikan oleh PT. Affan Raya Lines yang berdomisili di Palembang.
Tercatat bahwa kapal, setelah menyelesaikan pembongkaran kopra, raung kapal tidak dibersihkan sebagaimana mestinya dan muatan impor ke Indonesia tersebut sudah dimuat ke kapal saat ruang muatan/palka masih belum steril dari bau (odour) kopra.
Akibatnya, terigu ditolak oleh importirnya karena seluruhnya berbau tengik; importir pun mengajukan claim kepada PT. Affan Raya Lines yang mengoperasikan kapal. PT. Affan Raya Line menyatakan tidak mampu membayar claim sebesar itu, sekaipun harus menjual semua aset perusahaan; maka hutang yang default itu diambil alih oleh Pemerintah RI.
Sebagaimana kita ketahui sekitar tahun enampuluhan Indonesia adalah eksportir utama kopra, bersaing dengan Pilipina. Mungkin karena begitu gencarnya ekspor kopra ke Jepang, terdapat suatu bentuk eforia di mana agen atau awak kapal menjadi lengah dan tidak mengontrol pembersihan ruang kapal secara benar. Palka belum 100% steril dari sisa bau (odour) muatan kopra, sudah dimuati dengan tepung terigu dalam kantong dengan akibat semua terigu menjadi tengik dan ditolak oleh importirnya. Siapa yang mau membeli tepung terigu berbau tengik, kecuali perusahaan yang memproduksi makanan ternak, dengan harga sudah sangat jatuh?
Pemerintah RI yang awal rahun 1960 menerima banyak sekali pampasan perang Jepang, merasa perlu berbaik-baik hati dengan Pemerintah Jepang. Untuk itu, hutang claim PT. Affan Raya Line (operator kapal) sebesar USD.600.000.- yang dinyatakan default, diambil alih oleh Pemerintah. Hutang dibayar oleh Pemerintah RI dengan kompensasi PT. Affan Raya Lines diakuisisi dan dimasukkan ke dalam PN. Djakarta Lloyd (DL), yang merupakan perusahaan dengan modal negara.
Entah bagaimana prosedur akuisisi diterapkan, tetapi yang tampak di permukaan adalah tidak adanya berita acara pengambilan aset perusahaan untuk mengganti hutang USD.600.000.- itu (apa betul Affan Raya tidak mempunyai total aset sebesar itu). Yang tampak justru masuknya orang-orang (pegawai/manajer) Affan Raya ke dalam DL sehingga DL tampak berjejal-jejal dipenuhi eks karyawan Affan Raya.
Direksi DL juga tampaknya tidak berani menyampaikan interupsi untuk melakukan seleksi atas karyawan/manajer bermutu yang layak diberi peran di DL. Ditambah lagi saat itu, akhir tahun 1963, beberapa mahasiswa Indonesia (populer disebut “mahasiswa pampasan perang Jepang” sudah menyelesaikan studinya di Jepang. Merekapun dimasukkan ke dalam jajaran pimpinan DL tanpa meninjau “track record” mereka dalam urusan usaha pelayaran niaga (business shipping).
Mulai sejak saat itu ihwal keterpurukan Djakarta Lloyd mulai menggejala di mana sekitar awal tahun 1970 perusahaan menggalakkan upaya pencarian muatan ekspor. Maka untuk itu direkrutlah anak-anak muda energik, dilengkapi kendaraan scooter Vespa untuk melakukan cargo canvassing dari para eksportir terutama PT-PT Niaga (dan PTPN, ditambah eksportir swasta nasional dan asing). Setiap pagi setelah absen di kantor dan mendapat instruksi dari pimpinan, mereka menyebar ke kantor-kantor eksportir mencari muatan outward cargo.
Celakanya, komitmen pengapalan barang ekspor yang mereka peroleh dari para eksportir tersebut, tidak diserahkan kepada atasan mereka di bagian Cargo Canvassing (sekarang sebutan itu tidak digunakan lagi karena dianggap vulgar; sebagai gantinya bagian Cargo Canvassing disebut bagian Marketing Jasa Pelayaran). Sore hari pada waktu pulang ke kantor, mereka mampir dulu ke kantor Maersk Line, American President Line dan lain-lain untuk menyerahkan Shipping Instruction (SI) yang mereka peroleh hari itu, untuk ...... mengutip uang lelah (baca: komisi).
Para cargo canvassers tersebut tidak merasa perlu menyetorkan shipping instuctions kepada atasannya karena Djakarta Lloyd justru meminta komisi dari eksporitr yang mengapalkan muatannya untuk diangkut dengan kapal Djakarta Lloyd sementara perusahaan swasta asing (dan nasional), sesuai perilaku dagang konvensional, memberikan komisi kepada pelanggan yang menyerahkan pengangkutan barang ekspornya kepada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Perilaku buruk tersebut masih ditambah lagi dengan penerapan manajemen perusahaan yang tidak pernah mengoreksi/mempunish kesalahan anak buah (termasuk canvasser yang menyerahkan SI kepada perusahaan lain padahal mereka beroperasi dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaannya sendiri).
Sekarang sudah menjadi kenyataan: PT. Djakarta Lloyd (Persero) sudah menjadi perusahaan pelayaran gurem dengan kapal mini berdaya angkut 200 – 400 TEUs sementara perusahaan pelayaran tingkat dunia mengoperasikan kapal berdaya angkut 15.200 TEUs (alias sekitar 300.000 tonnes muatan sekali jalan). Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai nyali untuk menghidupkan kembali perusahaan, yang sudah beberapa kali mengumumkan kepada karyawannya ketidakmampuan membayar gaji tersebut? Berapa uang rakyat akan dianggarkan untuk memfungsikan kembali mayat hidup itu. Sebagai mantan karyawan PN. Djakarta Lloyd (mengambil pensiun tunai pada tahun 1973) saya merasa ini bukan prioritas sekarang, lebih baik dananya untuk memaksimalkan produksi beras saja dulu.
Sementara itu, pada tahun 1972, penulis artikel ini sebagai pegawai DL yang sudah merasa sesak napas demgan perilaku operasi dan manajemen yang tidak sesuai pakem tersebut, mendengar rumor bahwa direksi DL akan mengangkat tenaga-tenaga sarjana. Mendengar info itu, penulis yang sudah sarjana sejak tahun 1965, merasa berbunga-bunga karena yakin akan memperoleh peningkatan peran tetapi ternyata tidak. Pada saat itu, kebetulan sahabatku, Mohamad Hasan Lamazie, (alm) seorang kapten Angkatan Darat diangkat sebagai direktur utama PN. Tundabara (belakangan menjadi PT. (Persero) Bahtera Adhi Guna). Track record pak Lamazie di bidang maritim/shipping memang kurang mantap tetapi beliau kuliah di AMI (Akademi Maritim Indonesia) bersama saya.
Maka dengan mantap aku segera menemuinya untuk menyampaikan lamaran kerja tetapi dari pembicaraan yang panjang lebar, kusimpulkan bahwa lamaranku tidak diterima. Kalimat krucial yang kucatat adalah “apa kamu sudah pikirkan masak-masak untuk kerja di sini”. Maka sayapun melayangkan surat lamaran ke perusahaan lain dan mendapat tempat sebagai Import Manager pada PT. Australia-Indonesian Milk Industries (PT. Indomilk) yang ternyata merupakan jebakan bagi saya (untuk dijebloskan ke penjara).
Kalau saya kurang mahir dalam pengurusan impor terutama prosedur kepabeanan, saya akan sudah masuk penjara untuk hal-hal yang kuketahui saja tidak, apa lagi mengerjakannya.
Saya akui bahwa nasib baik dan lindungan Tuhan YME sangat berperan di dalam kebebasanku dari manipulasi bea masuk yang terjadi di perusahaan tersebut (Agustus 1973 – Maret 1975). Semua dokumen yang diminta oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur) yang mengadili manipulasi itu, 22 berkas import documents = 66 customs documents dengan nilai manipulasi (bea masuk tidak dibayarkan kepada Kas Negara) senilai Rp.445.000.000.- (tahun 1973 – 1975) saya temukan untuk diserahkan kepada sidang masjelis, maka pemeriksaan atas diri saya pun dihentikan (ada kisahnya tersendiri, silahkan tunggu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar