Selasa, 14 Desember 2010

Antar Pulau Justru Pemersatu Negara. Indonesia Sebaiknya Berorientasi Kebaharian (Kompas, 14 Desember 2010).

Antar Pulau Justru Pemersatu Negara.
Indonesia Sebaiknya Berorientasi Kebaharian (Kompas, 14 Desember 2010).

Wakil Presiden Boediono menegaskan Republik Indonesia berkedaulatan penuh terhadap perairan antar pulau. Kondisi itulah yang membuat wilayah negara menjadi satu kesatuan utuh. Perairan antar pulau bukan sebagai pemisah melainkan justru pemersatu negara.
Boediono mengutarakan itu saat puncak peringatan Hari Nusantara ke-11 di kawasan pendaratan helikopter Pertamina di kota Balikpapan, Kalimantan Timur Senin 13-12-2010. Turut hadir Ny. Herawati Boediono, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Evert Erenst Mangindaan, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, pimpinan TNI/Polri, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dan jajaran bupati/walikota se Kaltim .
Boediono mengatakan, kondisi Indonesia yang berupa kepulauan membawa keuntungan tersendiri, yakni sumber daya kaut yang berlimpah. Sayangnya sumber daya laut belum dimanfaatkan secara optimal. Transportasi antar pulau belum dibangun dan dikembangkan dengan baik, padahal penting untuk menjamin pembangunan Indonesia yang menyeluruh dan terintegrasi.
Berorientasi Bahari.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, dengan kondisi berupa gugusan kepulauan, Indonesia patut berorientasi pada kelautan dan menjadi negara bahari.
Sejarah membuktikan, kerajaan (negara) bahari lebih mampu bertahan dan unggul daripada yang berorientasi pada daratan. “Mungkin penyebabnya ilmu pengetahuan dan teknologi bisa lebih dikembangkan di kerajaan bahari”, katanya.
Fadel mencontohkan perkasanya Sriwijaya yang pada abad ke-6 dan ke-7 menguasai jalur perdagangan India-Cina melalui Selat Malaka. Majapahit dengan orientasi kebaharian sanggup menguasai wilayah Nusantara dan sebagian Asia Tenggara. Usia kedua kerajaan ini jauh lebih lama daripada kerajaan daratan. Menurut Fadel, Sriwijaya mampu bertahan 500 tahun dan Majapahit bertahan 250 tahun. Kerajaan seperti Mataram (Hindu-Budha) bertahan 190 tahun, sedangkan Singasari bahkan Cuma bertahan 70 tahun.
Belum optimal.
Awang Faroek menambahkan, sumber daya laut adalah kekayaan yang belum tergali. Kaltim memiliki potensi perikanan 340.000 ton per tahun. Sektor kelautan dan perikanan mampu menyerap 175.000 pekerja atau 5 persen dari 3,1 juta jiwa penduduk Kaltim.
Namun potensi kelautan dan perikanan di Kalimantan Timur belum dimafaatkan secara optimal meskipun pemanfaatannya meningkat dari tahun ke tahun.
Produksi pada tahun 2008 mencapai 187.225 ton dan naik menjadi 200.172 ton pada 2009. Ekspor komoditas dan perikanan juga masih dikuasai jenis udang beku dengan tujuan Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, negara-negara di Asia Tenggara dan Eropa. Ekspor pada 2008 mencapai 18.961 ton dan pada 2009 naik menjadi 21.191 ton.
Biarpun demikian lanjut Awang Faroek, konsumsi ikan warga Kaltim mencapai 60,2 kilogram per kapita per tahun. Ini jauh melebihi standar nasional yang 32.9 kilogram per kapita per tahun.
Komentar blogger: berita Kompas tersebut kami kutip selengkapnya dengan niat untuk menumbuhkan minat kepada bidang kemaritiman kepada segenap pembaca blog ini. Dari kutipan itu tampak jelas, orientasi maritim Wakil Presiden RI sampai kepada Menteri dan Gubernurnya masih terbatas pada bidang kelautan dan perikanan, belum mencapai kemaritiman seutuhnya.
Blogger tidak mengtakan itu salah, tetapi bahwa itu masih kurang, rasanya blogger tidak salah. Maritim tidak terbatas pada laut dan ikan melainkan jauh lebih luas: bagaimana dengan “shipping industry”, dengan “maritime industry”, dengan geologi bawah laut? (hasil dari eksploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai tidak perlu disebut karena sudah diketahui).
Shipping industry berpotensi meraup pendapatan devisa jauh melampaui apa yang dapat dihasilkan oleh ekspor ikan dan hasil budidaya laut lainnya dan kalau hasil “shipping industry” digabungkan dengan yang diperoleh dari “maritime industry”, blogger yakin kas negara akan sangat lebih gendut daripada apa yang dihasilkan selama ini dan pemerintah RI mungkin boleh menghentikan eksploitasi hutan kita.
Pada hari Jumat 17 Desember 2010 lusa, IKALAMI (Ikatan Alumni AMI) akan mengadakan rapat reorientasi kepengurusan, setelah absen cukup lama. Menurut blogger momentum kebangkitan kembali IKALAMI saat strategis karena kesadaran orientasi kebaharian tampak sudah meningkat. Penulis artikel ini yang akan ditunjuk sebagai penasehat IKALAMI, dalam pertemuan Jumat lusa itu, Insya Allah, akan menyampaikan nasehat pertama: bentuklah tim kecil untuk menghadap Laksamana (purn) Soedomo, mintalah petuah beliau bagaimana kita dapat meningkatkan kembali kiprah di bidang kemaritiman, ke depan.
Bagaimanapun, pak Domo saat ini merupakan semacam perpustakaan maritim yang masih hidup. Blogger cukup merasa kecewa, beberapa waktu yang lalu belum ada yang tergerak hatinya untuk menghadap laksamana (purn) Ali Sadikin, tokoh yang pernah membangun visi maritim kita yang susah dicari gantinya. Maka itu, mumpung pak Domo masih ada, marilah kita manfaatkan beliau semaksimal mungkin.

Rabu, 29 September 2010

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft

Blogger Buzz: Stats Gadgets Graduate from Draft: "Last month we released two new stats gadgets to the Blogger in Draft testing ground; after hearing your feedback and making a few tweaks, we..."

Kamis, 23 September 2010

KISAH KETERPURUKAN DJAKARTA LLOYD (2)

Beberapa waktu yang lalu penulis mengungkapkan awal keterpurukan PN. (sekarang PT) Djakarta Lloyd (DL); mohon maaf ceritanya terputus dan inilah kelanjutannya: pada tahun 1963 kapal yang dioperasikan oleh DL dan dicharter oleh eksportir untuk mengangkut kopra ekspor dari Indonesia ke Jepang. Dalam perjalanan balik ke Tanjung Priok kapal mendapat muatan tepung terigu dalam kantong; dalam pengangkutan itu kapal dioperasikan oleh PT. Affan Raya Lines yang berdomisili di Palembang.
Tercatat bahwa kapal, setelah menyelesaikan pembongkaran kopra, raung kapal tidak dibersihkan sebagaimana mestinya dan muatan impor ke Indonesia tersebut sudah dimuat ke kapal saat ruang muatan/palka masih belum steril dari bau (odour) kopra.
Akibatnya, terigu ditolak oleh importirnya karena seluruhnya berbau tengik; importir pun mengajukan claim kepada PT. Affan Raya Lines yang mengoperasikan kapal. PT. Affan Raya Line menyatakan tidak mampu membayar claim sebesar itu, sekaipun harus menjual semua aset perusahaan; maka hutang yang default itu diambil alih oleh Pemerintah RI.
Sebagaimana kita ketahui sekitar tahun enampuluhan Indonesia adalah eksportir utama kopra, bersaing dengan Pilipina. Mungkin karena begitu gencarnya ekspor kopra ke Jepang, terdapat suatu bentuk eforia di mana agen atau awak kapal menjadi lengah dan tidak mengontrol pembersihan ruang kapal secara benar. Palka belum 100% steril dari sisa bau (odour) muatan kopra, sudah dimuati dengan tepung terigu dalam kantong dengan akibat semua terigu menjadi tengik dan ditolak oleh importirnya. Siapa yang mau membeli tepung terigu berbau tengik, kecuali perusahaan yang memproduksi makanan ternak, dengan harga sudah sangat jatuh?
Pemerintah RI yang awal rahun 1960 menerima banyak sekali pampasan perang Jepang, merasa perlu berbaik-baik hati dengan Pemerintah Jepang. Untuk itu, hutang claim PT. Affan Raya Line (operator kapal) sebesar USD.600.000.- yang dinyatakan default, diambil alih oleh Pemerintah. Hutang dibayar oleh Pemerintah RI dengan kompensasi PT. Affan Raya Lines diakuisisi dan dimasukkan ke dalam PN. Djakarta Lloyd (DL), yang merupakan perusahaan dengan modal negara.
Entah bagaimana prosedur akuisisi diterapkan, tetapi yang tampak di permukaan adalah tidak adanya berita acara pengambilan aset perusahaan untuk mengganti hutang USD.600.000.- itu (apa betul Affan Raya tidak mempunyai total aset sebesar itu). Yang tampak justru masuknya orang-orang (pegawai/manajer) Affan Raya ke dalam DL sehingga DL tampak berjejal-jejal dipenuhi eks karyawan Affan Raya.
Direksi DL juga tampaknya tidak berani menyampaikan interupsi untuk melakukan seleksi atas karyawan/manajer bermutu yang layak diberi peran di DL. Ditambah lagi saat itu, akhir tahun 1963, beberapa mahasiswa Indonesia (populer disebut “mahasiswa pampasan perang Jepang” sudah menyelesaikan studinya di Jepang. Merekapun dimasukkan ke dalam jajaran pimpinan DL tanpa meninjau “track record” mereka dalam urusan usaha pelayaran niaga (business shipping).
Mulai sejak saat itu ihwal keterpurukan Djakarta Lloyd mulai menggejala di mana sekitar awal tahun 1970 perusahaan menggalakkan upaya pencarian muatan ekspor. Maka untuk itu direkrutlah anak-anak muda energik, dilengkapi kendaraan scooter Vespa untuk melakukan cargo canvassing dari para eksportir terutama PT-PT Niaga (dan PTPN, ditambah eksportir swasta nasional dan asing). Setiap pagi setelah absen di kantor dan mendapat instruksi dari pimpinan, mereka menyebar ke kantor-kantor eksportir mencari muatan outward cargo.
Celakanya, komitmen pengapalan barang ekspor yang mereka peroleh dari para eksportir tersebut, tidak diserahkan kepada atasan mereka di bagian Cargo Canvassing (sekarang sebutan itu tidak digunakan lagi karena dianggap vulgar; sebagai gantinya bagian Cargo Canvassing disebut bagian Marketing Jasa Pelayaran). Sore hari pada waktu pulang ke kantor, mereka mampir dulu ke kantor Maersk Line, American President Line dan lain-lain untuk menyerahkan Shipping Instruction (SI) yang mereka peroleh hari itu, untuk ...... mengutip uang lelah (baca: komisi).
Para cargo canvassers tersebut tidak merasa perlu menyetorkan shipping instuctions kepada atasannya karena Djakarta Lloyd justru meminta komisi dari eksporitr yang mengapalkan muatannya untuk diangkut dengan kapal Djakarta Lloyd sementara perusahaan swasta asing (dan nasional), sesuai perilaku dagang konvensional, memberikan komisi kepada pelanggan yang menyerahkan pengangkutan barang ekspornya kepada perusahaan pelayaran yang bersangkutan.
Perilaku buruk tersebut masih ditambah lagi dengan penerapan manajemen perusahaan yang tidak pernah mengoreksi/mempunish kesalahan anak buah (termasuk canvasser yang menyerahkan SI kepada perusahaan lain padahal mereka beroperasi dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaannya sendiri).
Sekarang sudah menjadi kenyataan: PT. Djakarta Lloyd (Persero) sudah menjadi perusahaan pelayaran gurem dengan kapal mini berdaya angkut 200 – 400 TEUs sementara perusahaan pelayaran tingkat dunia mengoperasikan kapal berdaya angkut 15.200 TEUs (alias sekitar 300.000 tonnes muatan sekali jalan). Apakah Pemerintah dan DPR mempunyai nyali untuk menghidupkan kembali perusahaan, yang sudah beberapa kali mengumumkan kepada karyawannya ketidakmampuan membayar gaji tersebut? Berapa uang rakyat akan dianggarkan untuk memfungsikan kembali mayat hidup itu. Sebagai mantan karyawan PN. Djakarta Lloyd (mengambil pensiun tunai pada tahun 1973) saya merasa ini bukan prioritas sekarang, lebih baik dananya untuk memaksimalkan produksi beras saja dulu.
Sementara itu, pada tahun 1972, penulis artikel ini sebagai pegawai DL yang sudah merasa sesak napas demgan perilaku operasi dan manajemen yang tidak sesuai pakem tersebut, mendengar rumor bahwa direksi DL akan mengangkat tenaga-tenaga sarjana. Mendengar info itu, penulis yang sudah sarjana sejak tahun 1965, merasa berbunga-bunga karena yakin akan memperoleh peningkatan peran tetapi ternyata tidak. Pada saat itu, kebetulan sahabatku, Mohamad Hasan Lamazie, (alm) seorang kapten Angkatan Darat diangkat sebagai direktur utama PN. Tundabara (belakangan menjadi PT. (Persero) Bahtera Adhi Guna). Track record pak Lamazie di bidang maritim/shipping memang kurang mantap tetapi beliau kuliah di AMI (Akademi Maritim Indonesia) bersama saya.
Maka dengan mantap aku segera menemuinya untuk menyampaikan lamaran kerja tetapi dari pembicaraan yang panjang lebar, kusimpulkan bahwa lamaranku tidak diterima. Kalimat krucial yang kucatat adalah “apa kamu sudah pikirkan masak-masak untuk kerja di sini”. Maka sayapun melayangkan surat lamaran ke perusahaan lain dan mendapat tempat sebagai Import Manager pada PT. Australia-Indonesian Milk Industries (PT. Indomilk) yang ternyata merupakan jebakan bagi saya (untuk dijebloskan ke penjara).
Kalau saya kurang mahir dalam pengurusan impor terutama prosedur kepabeanan, saya akan sudah masuk penjara untuk hal-hal yang kuketahui saja tidak, apa lagi mengerjakannya.
Saya akui bahwa nasib baik dan lindungan Tuhan YME sangat berperan di dalam kebebasanku dari manipulasi bea masuk yang terjadi di perusahaan tersebut (Agustus 1973 – Maret 1975). Semua dokumen yang diminta oleh majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur) yang mengadili manipulasi itu, 22 berkas import documents = 66 customs documents dengan nilai manipulasi (bea masuk tidak dibayarkan kepada Kas Negara) senilai Rp.445.000.000.- (tahun 1973 – 1975) saya temukan untuk diserahkan kepada sidang masjelis, maka pemeriksaan atas diri saya pun dihentikan (ada kisahnya tersendiri, silahkan tunggu).

Selasa, 31 Agustus 2010

MENYELUNDUPKAN EMAS

Sudah cukup lama tidak terdengar berita tentang kasus penyelundupan emas, apakah para penjahat sudah sadar? Biasanya penyelundup amatir berusaha mea emas gelap dengan cara ditipiskan dan dijahitkan pada vest yang dikenakan di bawah jacket yang dikenakannya.
Atau: langkah ini merupakan kamuflase, untuk mengalihkan perhatian karena di tempat lain, atau pada waktu lain yang dekat, dilakukan penyelundupan yang lebih besar. Cobalah anda hitung berapa atau apa yang anda peroleh dengan menyelundupkan dua kilogram emas, dengan mempertimbangkan selisih harganya di tempat asal dan di tempat tujuan, dikurangi lagi dengan biaya tiket pesawat terbang, ongkos hotel berbintang dan biaya-biaya operasional lainnya?
Penyelundupan dengan modus operandi seperti ini tergolong sebagai penyelundupan kelas teri karena kalau berhasil, perolehannya tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan dapur, padahal risiko tertangkap sangat besar seperti yang akan diungkapkan sebentar lagi.
Juga ada penyelundupan kelas “memenuhi kebutuhan dapur” lain seperti yang dilakukan pilot pesawat terbang dengan membawa satu atau paling banyak dua buah jam tangan Rolex all gold. Konon kabarnya, di kalangan kepabeanan ada pameo: Pabean tahu tentang pilot yang “nyangking” jam tangan rolex satu buah tetapi dibiarkan saja (Bea dan Cukai tutup mata) karena ulah itu hanya dianggap untuk menjaga supaya asap dapur tetap ngebul.
Baru kalau pilot merasa bahwa Bea dan Cukai tidak tahu “kenakalannya” itu lalu membawa duapuluh unit jam tangan Rolex all gold itu, dia harus kecele karena ditangkap. Di kalangan kepabeanan, pilot menenteng 20 buah jam tangan Rolex tinggal jemput saja. Koq bisa begitu? Ketahuilah, petugas-petugas lapangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (ada yang) mendapat latihan khusus untuk dapat membaca perubahan urat tubuh manusia yang menegang karena membawa beban yang melebihi “daya angkut” tubuhnya.
Lho, bukankah emas murni dipipihkan menjadi setebal kertas dan dijahitkan pada pakaiannya itu hanya menimbulkan tambahan beban dua kilogram yang tidak terlalu membebani tubuh manusia. Ketahuilah lagi, pelatihan khusus itu bukan untuk membaca urat yang besar/kasar, karena kalau hanya untuk itu tidak perlu latihan khusus, orang bisa berlatih sendiri dengan mengamati urat yang menonjol pada batang leher seperti yang terjadi saat orang menyanyikan lagu seriosa.
Yang dilatihkan kepada (sebagian) petugas lapangan itu adalah materi untuk membaca urat halus yang sebenarnya menonjol kalau orang membawa beban sedikit melebihi bawaannya yang dia tenteng, misalnya jaket yang dilapisi lembaran emas seberat 2 atau 2,5 kilogram itu.
Sedangkan pengenalan pilot yang “nyangking” arloji emas Rolex lebih banyak dilakukan melalui metode psikologi, dari raut wajah orang yang merasa bersalah membawa barang impor tanpa melalui prosedur. Bagi pilot yang membawa duapuluh buah arloji gelap, dari caranya menenteng traveling bag sangat jelas terlihat. Begitu juga kalau dia menghela tas beroda (trolley).
Penyelundupan bohong-bohongan, kamuflase untuk menutupi langkah penyelundupan yang lebih besar, acap kita temukan pada kurun waktu tahun delapan puluhan di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya di mana ada impor sampah domestik (sampah dari restoran besar, rumah tangga), bukan sampah khusus seperti aki bekas (mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi).
Dalam kesempatan itu memang betul-betul ada impor sampah domestik dan untuk meyakinkan masyarakat, penyelundup sengaja memanggil kameraman TVRI untuk menyorot peti kemas yang sejak pintunya dibuka, pemulung berebutan, sampai ke dinding peti kemas pada ujung lainnya terlihat, memang hanya sampah sayur, kaleng minuman sampai kulit ikan dan segala macam limbah dapur.
Maka keesokan harinya ketika di pelabuhan Tanjung Priok ada impor serupa, pemeriksa Bea dan Cukai sengaja disodori batang besi yang ujungnya diruncingkan untuk memeriksa peti kemas berisi sampah, untuk mencolok-colokkan sampah itu, tidak menyentuh benda keras, maka seketika itu pula dia menandatangani dokumen pemeriksaan sambil menutup hidung.
Seketika kemudian amanlah tindak penyelundupan mobil Jaguar yang dibungkus kantong plastik tebal besar dan diposisikan pada bagian dalam peti kemas dan ditimbuni sampah domestik. Tentu saja colokan besi runcing sepanjang dua meter itu tidak menemukan keanehan karena ruang dalam peti kemas sekitar 11,5 meter dan panjang mobil Jaguar kira-kira 5 meter. Maka dengan demikian hasil pemeriksaan menyebutkan conform (sesuai) dan “sampah impor” itu sudah sah memenuhi prosedur impor dan kepabeanan, maka segera pula peti kemas diperintahkan keluar dari pelabuhan untuk menuju ke ........ rumah mewah di kawasan Pondok Indah.
Kembali ke sinyalemen bahwa penyelundupan dua (atau bahkan: lima) kilogram emas adalah kamuflase, penulis pernah didekati gembong penyelundup untuk menyelundupkan emas sebanyak dua ton. Jangan salah, dua ton emas murni. Anda bercanda barangkali, begitu mungkin komentar anda. Tidak, saya tidak bercanda dan hitung-hitungan tindak kejahatan itu sudah dibuat tetapi sayang pada saat terakhir saya seperti ada yang mengingatkan untuk tidak jadi ikut dalam program gila itu.
Sudah barang tentu gembong penyelundup marah besar tetapi sebagai gembong, tidak marah meledak-ledak menggebrak meja. Dia hanya bertanya dengan santai: “Bapak sadar dengan apa yang bapak katakan?” Maka jawab saya juga dengan tenang: “Anak saya enam orang pak, saya dengan sadar menimbang apa yang harus saya lakukan. Untuk itu saya akan diam tidak bicara mengenai apapun kepada siapapun, paling tidak untuk lima tahun mendatang”.
Sesungguhnya yang saya katakan adalah: “Tindak penyelundupan besar ini pak, pada pelaksanaannya memang bisa kita atur untuk tidak diketahui oleh siapapun kecuali kita berdua dan mungkin satu dua orang dari pihak bapak (dia menggelengkan kepala) tetapi setelah dua juta gram emas gelap masuk pasar, pasti reserse ekonomi dapat mengendusnya. Masalahnya adalah, berapa lama polisi akan mengendus kasus besar ini?
Kalau kebetulan pada saat itu sedang ada penggantian Kapolda (atau barangkali bahkan Kapolri), mungkin dalam hitungan hari sudah akan terungkap karena pejabat baru biasanya berusaha menunjukkan prestasinya yang spektakuler tetapi pada situasi lain, mungkin diperlukan waktu satu, dua minggu atau sebulan baru kasus terungkap. Atau bakhan tidak pernah terungkap. Mencegah spekulasi, saya kan harus bersembunyi karena kalau bapak kan sudah mengatur persembunyian sejak sebelum bergerak.
Di sinilah masalah besar yang saya hadapi, yaitu bagaimana saya harus menyembunyikan enam orang anak yang sudah sekolah (dan satu isteri)? Kalau anak saya satu tau paling banyak dua orang, senang diajak sembunyi di hotel berbintang (dalam waktu terbatas). Tinggal memasang pengawal tiga lapis, untuk menangkal datangnya anggota Polisi peringkat rendah, menengah dan tinggi. Maka itu dalam dialog penutup yang mengecewakan gembong penyelundup, saya tekankan tentang anak saya yang enam orang itu. Di samping itu saya tergolong orang yang takut masuk penjara sebagai napi (beda dengan Artalyta Suryani ya?)
Tetapi ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya saya bisa masuk ke “sarang penyamun” itu? Begini: Awal tahun 1980 saya sebagai Import Manager PT.Australia-Indonesian Milk Industry, PT. Indomilk, perusahaan joint venture antara The Australia Dairy Produce Board, ADPB, sejenis BULOG khusus produksi persusuan Australia, yamg berpatungan dengan investor Indonesia, sembilan orang bersaudara kandung, marga Zahiruddin – Tanjung asal desa Sorkam kabupaten Sibolga Sumater Utara.
Tiga orang wanita dari clan itu hanya aktif dalam pembagian dividen (dan rapat pemegang saham, board meeting) tentunya. Biasanya rapat pemegang saham diadakan di Jakarta. Sementara itu saudara yang ditengah-tengah, Akbar Tanjung tidak pernah ikut mengurusi bisnis namun dalam rapat direksi (management meeting) biasanya hadir karena beliau menjabat sebagai Direktur dalam perusahaan patungan itu). Seperti kita ketahui pak Akbar Tanjung berkonsntrasi pada kegiatan perpolitikan.
Lima orang laki-laki dalam clan itu, adalah anggota DPR/MPR. Tetapi saudara tertua, Usman Zahiruddin Tanjung, yang disebut “pak Datuk” tercatat meninggal bunuh diri dengan cara gantung diri pada kusen pintu di rumahnya. Saya sebenarnya tidak yakin orang sebesar dia harus bunuh diri dengan cara “primitif” itu “secara sukarela” tetapi kalau saya katakan dia dipaksa bunuh diri (untuk menghentikan pengusutan lebih lanjut), saya toh tidak punya buktinya.
Hanya saja yang pasti, “pak Datuk” meninggalkan surat wasiat yang dimuat dalam surat kabar BERITA YUDHA (atau BERITA BUANA?) terbitan Agustus 1973. Saya masih ingat wasiatnya berbunyi kurang lebih: “Saya kecewa, perusahaan yang saya bangun dengan susah payah, dibuat begini oleh adik-adik saya”. Mungkin Redaksi salah satu dari surat kabar tersebut berkenan mengungkapkannya kembali?
Pada awal tahun 1980 tersebut saya sudah menghitung untung ruginya keluar dari perusahaan itu; masalahnya adalah kalau saya tidak keluar, akan menjadi saksi kunci dalam kasus manipulasi bea masuk (jilid II) yang melibatkan Nasrul Zahiruddin, abangnya Akbar Tanjung dan atasan langsung saya (sebagai Direktur Administrasi dan Keuangan). Nah, kalau saya menjadi saksi kunci, Nasrul (alm) “berpotensi” masuk penjara padahal saat itu Akbar Tanjung sebagai Ketua KNPI sudah santar diberitakan akan dipromosikan menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Mungkinkah Akbar Tanjung tetap mulus menjadi Menteri kalau abangnya masuk penjara? Dihantui pikiran ini maka dengan tanpa ragu saya memutuskan minta berhenti dari Indomilk dan mendengar itu ibu saya marah sejadi-jadinya: “Kamu cari apa sih, sudah manajer gaji besar, tiap Jumat dapat susu gratis dua kaleng, kok keluar”. Saya tidak menemukan jawaban atas kemarahan ibu itu.
Membuat hitung-hitungan itu, herankah anda kalau saya, di satu sisi mempertimbangkan keluar saja dari Indomilk dan di sisi lainnya tergiur ikut serta dalam penyelundupan emas dengan peluang memperoleh bagian mencapai duaratus juta uang tahun 80! Modus operamdi penyelundupan itu cukup sederhana dan tidak diketahui oleh siapapun, juga tanpa berkolusi dengan Bea dan Cukai kecuali sedikit menipunya.
Anda mungkin pernah menonton film action di mana pastor palsu membezuk napi dengan membawa kitab injil setebal bantal di mana ternyata lembar-lembar kitab injil sudah dilubangi untuk menyembunyikan pistol yang diselundupkan kepada si napi.
Saya terperosok dalam rencana yang saya batalkan itu mungkin karena bos penyelundup atau anggotanya, mengamati bahwa saya sering mentransfer uang dalam jumlah besar ke Hongkong, kadang USD.150.000.- atau paling tidak puluhan ribu. Itu adalah uang untuk membayar hutang Indomilk kepada Financial Manager di Hongkong yang mengurusi pendanaan untuk operasi Indomilk. Asal anda tahu saja, management fee yang harus dibayar oleh Indomilk untuk bantuan finansial itu sebesar 5% dari omzet perusahaan (bayangkan dari omzet, bukannya dari laba bersih ataupun laba kotor).
PT. Indomilk sebagai produsen susu kental manis dengan membuat sendiri kaleng susunya, setiap bulan mengimpor duaratus ton tinplate, lembaran tipis logam bersalut timah putih; satu lembar plat berukuran kurang lebih 100 x 100 milimeter, beratnya satu kilogram per lembar.
Satu collie tinplate, yang paling kecil beratnya 600 kilogram dan paling besar 2500 kilogram. Nah kalau limaratus kilogram emas murni dicor ke dalam kemasan yang besarnya 2000 kilogram (2 ton), untuk menyelundupkan 2 ton emas murni hanya dibutuhkan beberapa collie tinplate impor. Operasionalnya juga melibatkan tidak lebih dari lima orang sehingga kebocoran informasi mudah diatasi.
Setelah barang selundupan dibongkar dari kapal, mengangkutnya ke gudang pabrik yang berstatus TPB, tempat penimbunan berikat dengan fasilitas penundaan pembayaran bea masuk, cukup gampang tanpa perlu berkolusi dengan pengawas dari Ditjen Bea dan Cukai, cukup menyediakan truck yang bernomor polisi sama dengan truck yang membawa peti kemas berisi barang selundupan. Truck abal-abal yang diisi tinplate yang sudah dilengkapi dokumen palsu namun (dibuat) sesuai dengan dokumen impornya, diperintahkan mogok di suatu posisi yang akan dilewati oleh truck yang membawa emas gelap yang dibongkar dari kapal di Tanjung Priok .
Setelah truck berisi emas selundupan sudah melewati truck yang “mogok” tersebut maka truck abal-abal diperintahkan melanjutkan perjalanan menuju gudang TPB di pabrik sementara truck berisi emas selundupan menuju arah yang sudah direncanakan’.
Selesailah sudah operasi kejahatan menyelundupkan emas murni kaliber super jumbo tersebut, sayang saya tidak mempunyai cukup nyali untuk menghadapi risikonya.

Senin, 30 Agustus 2010

FLASH BACK

Maaf, mungkin penulis keliru menggunakan kata flash back karena yang penulis maksud adalah tulisan-tulisan tentang masalah maritimdan yang terkait dengan itu, yang penulis lakukan puluhan tahun yang lalu. Dalam artikel ini, dan yang akan kususulkan berikutnya, materi yang ditulis masih relevant bahkan bukan tidak mungkin dapat terjadi lagi mengingat perilaku biokrasi sejak “jaman dahulu” itu belum beranjak maju saat ini (memang ada kemajuan namun kurang signifikan). Penyajian ulang tulisan lama ini dalam blog penulis juga dimaksudkan sebagai sumbang pikir bagi masyarakat Indonesia seutuhnya yang mendambakan berlakunya praktek dagang yang bersih sesuai ketentuan.
Baiklah langsung saja dimulai penulisan ulang ini yang penulis yakini cukup menarik perhatian; pertama-tama penulisan tampilkan artikel yang dimuat pada surat kabar INDONESIA RAYA terbitan 7 Januari 1969 dengan judul “PENYELUNDUPAN DAN MASALAH PEMBERANTASANNYA”.
Sudah barang tentu tulisan ini (dan yang lainnya, menyusul) disajikan dalam ejaan lama (Ejaan Suwandi) tetapi demi kenyamanan anda, kuganti dengan ejaan baru (EYD, Ejaan yang Disempurnakan), selengkapnya sebagai berikut:
Akhir-akhir ini makin banyak berita-berita penyelundupan disajikan di surat-surat kabar dan berita terakhir tentang manipulasi obat nyamuk cukup mengejutkan, walaupun praktek-praktek semacam itu bukan barang baru (importirnya sendiri mengakui telah melakukan empat kali.
Anda barangkali masih ingat peristiwa manipulasi benang jahit beberapa tahun yang lalu. Padfa peristiwa itu spoel benang jahit dibesarkan sehingga panjang benang menjadi berkurang. Jadi hakekatnya yang diimpor, dengan devisa negara, hanyalah kayu melulu,yang tiada berharga (catatan blogger: waktu itu, medio enampuluhan, harga kayu {sangat murah} dan berlaku sistem devisa terkendali, semua devisa dikuasai negara).
Dan masih banyak lagi ragamnya manipulasi seperti yang diberitakan terjadi di Cirebon dan Sumatera Utara. Menurut berita-berita surat kabar penyelundupan di Cirebon terjadi karena pejabat-pejabat berwenang menawarkan pengenaan bea masuk yang lebih rendah dari ketentuan yang berlaku, yang memberikan keuntungan besar kepada importirnya. Sedang dalam peristiwa di Sumatera barang-barang ditahan setelah berada di peredaran bebas, tentunya setelah menyelesaikan prosedur pemasukannya di pelabuhan. Hanya saja di sini prosedur itu telah diselewengkan oleh pihak-pihak berwenang setempat; kalau tidak, bagaimana mungkin barang dapat lolos dari pelabuhan dalam jumlah besar?
Penyelundupan Legal.
Di samping pen yelundupan yang biasa, di negara kita orang mengenal adanya “penyelundupan legal”. Kalau dalam penyelundupan biasa sang penyelundup membawa barangnya dalam perahu yang dilamuflase atau ke dalam vest yang dipakai di bawah kemeja dan berusaha menghindari pemeriksaan petugas Bea dan Cukai maka dalam penyelundupan legal petugas-petugas itu justru dirangkul, diberi hadiah-hadiah atau pembagian keuntungan atasd “kesediaannya” mengenakan tarif bea masuk/keluar lebih rendah atau menutup mata terhadap kenyataan barang barang yang dikjasukkan/dikeluarkan berbeda dengan dokumennya, atau berbagai ragam penyelewengan lainnya.
Dari berbagai macam cara penyelundupan legeal tersebut, ada yang semata-mata merupakan tindak kejahatan dari pelakunya, tetapi ada juga yang memang dimungkinkan oleah peraturan yang sedang berlaku. Contoh: manipulasi benang jahit di atas, tentulah suatu kecurangan oleh importirnya sendiri, tetapi contoh di bawah ini adalah suatu kecurangan yang dimungkinkan oleh peraturan yang berlaku.
Anda barangkali memiliki, atau setidak-tidaknya pernah naik mobil station wagen dari merk tertentu dan di situ anda melihat bahwa rear windows, langit-langit dan dashboard adalah local made, sedangkan rear seat dapat dilipat ke depan menjadi lantai yang sama rata dengan lantai bagasi (sengaja penulis menulis “station wagen” bukannya “station wagon”, untuk menyindir merk Volswagrn yang menjadi alas penulisan ini).
Ketahuilah bahwa station wagen tersebut diimpor sebagai delivery van yang tidaka memerlukan perlengkapan rear windows dan lain-lain. Setelah melewati wilayah kekuassaan Bea dan Cukai barulah perlengkapan tersebut (yang memang sudah dipersiapkan atau diimpor secara terpisah) dipasanglah dan menjelmalah “delivery van” tadi menjadi suatu station wagen yang dijual di pasaran mengikuti harga mobil sedan.
Kalau anda ingat bahwa di jaman orde lama ada brmacam-macam kurs valuta asing yang berbeda-beda untuk barang vital (paling rendah), barang mewah (paling mahal), dapatlah anda perkirakan berapa keuntungan importir mobil tersebut (PT. Piola, pen) dari prbedaan kurs saja, belum lagi keuntungan dari perbedaan besarnya bea masuk, Sumbangan Wajib Dwikora dan lain-lain yang untuk delivery van tarifnya jauh lebih rendah daripada tarif station wagen.
Sedangkan penyelundupan ekspor dapat dilakukan misalnya (untuk menyebut sebuah contoh saja), dengan mengirim bungkil kelapa (copra cake) yang masih mengandung minyak untuk nanti diperas lagi oleh importirnya di sana.
Tidak perlu kiranya diceritakan di sini bagaimana hocus pocusnya importir/eksporir dengan Bea dan Cukai untuk mendapatkan legalitas bagi manipulasi mereka itu.
Peranan Importir.
Dalam kebanyakan tindak penyelundupan, pengambil inisiatif utama adalah importir sendiri, atau pihak lain yang erat hubungannya dengan importir misalnya indentor, yaitu kalau kedua pihak tersebut saling bekersajasama. Kalau ada importir yang menyatakan bahwa dia tidak ikut melakukan penyelundupan karena hanya mengurus dokumen-dokumennya saja, hal itu harus ditafisrkan hanya importir tersebut hanya menjual tandatangannya saja atas dokumen impor dengan mendapat komisi sekian prosen dari nilai transaksi, sedangkan semua urusan dengan supplier dan lain-lain diselesaikan oleh indentor sendiri. Praktek semacam ini memang banyak dilakukan oleh importir aktentas (importir tanpa modal yang hanya memiliki surat-surat ijin, tas kantor dan sebuah meja tulis).
Untuk melicinkan jalan ke arah penyelundupannya, importir/indentor paling kurang harus berkomplot dengan dengan petugas Bea dan Cukai serta perusahaan perkapalan dengan mengkamuflase wekker dan lain-lain sebagai obat nyamuk tanpa dicurigai oleh kedua instansi tersebut, karena baik perusahaan perkapalan maupun maupun Bea dan Cukai mempunyai daftar lengkap yang memuat cara pembungkusan, timbangan dan ukuran/volume dari berbagai macam barang. Dengan melihat bagaimana buruh mengangkat sebuah peti saja seorang juru gudang yang berpengalaman dapat menilai apakah isinya sesuai dengan dokumen atau tidak.
Dalam pada itu dalam behandeling barang di mana tidak mungkin seluruh peti diperiksa/ditimbang, maka pemeriksaan dan penimbangan dilakukan secara steek proef (acak) dan diambil at random. Di sinilah kuncinya penyelundupan itu, yaitu bahwa barang-barang yang akan diambil untuk dibehandel disediakan yang betul-betul sesuai dengan dokumennya. Dari partai 177 collie obat nyamuk (ditulis dalam koran yang sama, sebelum tulisan ini) memang cukup kalau hanya diperiksa 6 collie saja, di mana sebagai hasil pemeriksaan dinyatakan bahwa segala sesuatu adalah conform. Dengan demikian resminya pemasukan (impor) barang sudah memenuhi ketentuan yang berlaku dan bea sudah dipungut dengan semestinya walaupun yang conform HANYALAH ke-6 collie tadi.
Bagaiman Mengatasinya?
Memberantas penyelundupan biasa kiranya tidaak begitu sulit karena kami yakin armada ALRI, AIRUD dan Bea dan Cukai cukup kuat untuk melakukan patroli yang ketat. Yang penting adalah sistem pemberian premi kepada alat-alat negara tersebut. Hendaknya Pemerintah menjalankan lagi sistem pemberian premi bagi setiap barang selundupan yang berhasil disita baik oleh kapal patroli ALRI, AIRUD maupun Bea dan Cukai serta oleh petugas-petugas di darat. Dengan demikian mereka menjadi antusias dalam menjalankan tugasnya karena didorong oleh premi dan penghargaan dari Pemerintah, asal saja baran g sitaan segera dijuall oleh Pemerintah untuk Kas Negara (atau dimusnahkan) dan tidak lagi “dimanfaatkan” oleh Kejaksaan seperti selama ini.
Penyelundupan legal agak sukar mengatasinya, kaena sukar sekali mengusut ada atau tidaknya penyelundupan dari dokumen-dokumen yang bersangkutan, yang umumnya oleh komplotan penyelundup telah diatur serapi-rapinya. Setiap lubang yang memungkinkan mereka terperosok telah dijaga, sehingga kalau pengusutan hanya didasarkan pada ketentuan formal yang berlaku (seperti yang selama ini dilakukan), maka manipulatornya selalu dapat bebas dari tuntutan. “Kunci penyelundupan” seperti kami utarakan di atas merupakan contoh kongkrit di sini. Dia bukan saja kunci penyleundupan, tetapi sekaligus juga kuncci penyelamat bagi para pelakunya.
Tegasnya: kalau praktek kejahatan mereka sampai terbongkar, maka dari pemeriksaan itu, sementara barang-barang yang disegel dapat ditukar dengan barang yang sesuai. Salah-salah malahan tuduhan dapat dibalikkan kepada surat kabar yang menyiarkan berita tersebut – termasuk penulis karangan ini – karena dianggap memfitnah petugas negara.
Karena itu kalau Pemerintah benar-benar berusaha membrantas penyelundupan, hendaknya jangan terlalu menyandarkan diri kepada ketentuan formal yang berlaku tetapi hendaknya lebih luwes sedikit. Misalnya kalau terdapat sinyalemen seperti disiarkan oleh Indonesia Raya baru-baru ini hendaknya barang-barang segera dibuka di muka umum untuk membuktikan apakah sesuai dengan dokumen atau tidak. Di samping tentunya perombakan organisasi Bea dan Cukai, mengganti pejabat-pejabatnya yang bermental bobrok dan serakah.